Gedung tinggi menjulang, lampu berwarna-warni, menjadi pemandangan yang memanjakan mata setiap hari. Mungkin hal itu bikin elo pengin tinggal di luar negeri. Begitu juga gue. Pas gue ngeliat film-film Jackie Chan, gue jadi pengin main ke China. Karena, konon China itu negara yang cukup digdaya.
Pemandangan semacam ini, bikin gue semakin nafsu buat main ke sana. Itulah kenapa, gue mutusin buat main ke Shanghai! Yeay! Beberapa teman sempat mengingatkan untuk memilih kota lain aja, tapi gue nggak mempedulikan mereka. Karena, gue jalan-jalan bukan untuk nyari kesenangan, melainkan keresahan. Keresahan untuk apa? Untuk ditulis menjadi sebuah buku. Hihi!
Wah.. Imigrasi China menerima kedatangan Alien
Tapi setelah gue nyampe di Shanghai, segala ekspektasi gue atas indahnya kota itu pun bubar jalan. Karena, kenyataannya pemandangan yang gue liat di Shanghai pas siang hari adalah seperti ini.
This city is only good to hang out at night
Iya, itu semua adalah polusi udara, berkat banyaknya industri di sekitar sana. Yah, lo pasti tau lah, hampir semua barang di bumi ini dibuat di China. Makanya, wajar aja kalo di China banyak pabrik. Jadi, ya begini deh efeknya. Faktanya, sangking buruknya polusi udara di Shanghai, konon efeknya setara dengan menghisap 12 batang rokok setiap hari. Sedih.
Selain soal polusi udara, ada beberapa hal nggak wajar yang gue alami di sana. Ini beberapa di antaranya:
Kriminalitas
Gue ingat, hari pertama gue sampai di Shanghai, gue main-main ke Yu Garden. Di sana, deket juga area pasar tradisional gitu. Gue bisa beli pernak-pernik buat oleh-oleh temen-temen kantor. Nah, uniknya, gue kira Yu Garden ini bakal bagus dan damai banget. Kenyataannya, tempatnya cuma kayak kolam ikan di rumah sakit yang ada jembatan kecilnya gitu. Di mana, pengunjungnya terlalu banyak, sampai susah buat gerak. Duh.
Potongan rambut hipster
Inilah kehidupan Ranger-Pink saat ini
Balik dari tempat itu, tepatnya pas nunggu taksi, gue tiba-tiba disamperin orang berhidung mancung, namun berkulit agak gelap. Dia ngeluarin sebuah iPhone dari kantongnya, terus cuma bilang, "Hrr.. Hrr.. Hrr.." Sambil buka info di iPhone itu. Iya, cara ngomong dia mirip anggota suku pedalaman yang masih suka melakukan ritual Kanibalisme. Gue sempet takut, tapi gue kembali inget, takut itu cuma sama Allah. Gue pun tenang kembali.
Awalnya, gue kira dia mau minta bantuan gimana caranya buat nelpon mantan, ternyata setelah gue pahami lebih lanjut, dia mau menjual iPhone-nya. Dia menjual iPhone itu seharga CNY 1000, atau kalau dirupiahkan menjadi 2 jutaan. Gue curiga dong, kok ada iPhone harganya 2 juta? Gue kira itu iPhone bajakan versi China.
Tapi ternyataaaaa... Gue yakin itu iPhone hasil nyopet. Soalnya, dia nggak bisa ngasih box dan kelengkapan lainnya. Dan yang paling penting, tuh iPhone masih kena iCloud Lock, di mana yang bisa buka kuncinya adalah pemilik aslinya. Jadi, selama iCloud Lock belum bisa dibuka, si pemilik masih bisa dengan mudah nemuin iPhone itu via GPS. Wah.. Gak lucu banget kalo gue ditangkep polisi China cuma gara-gara dianggep sebagai penadah hape colongan. Gue pun menolak penawaran mas Kanibal itu, kemudian dia terlihat tersinggung, lalu ngedorong gue, dan dia lari. Indah sekali hari pertama gue di China.
Kendala Bahasa
Gue kira, dengan menguasai bahasa Inggris secara baik itu bisa memudahkan gue buat pergi ke penjuru manapun di dunia. Tapi ternyata, pemikiran itu berubah ketika gue sampai di China. Begitu sampai di China, gue sangat kesusahan buat nemuin orang yang bisa berbahasa Inggris. Semacam 1 banding 100. Misalpun nemu orang yang bisa berbahasa Inggris, logatnya Chinglish (Chinese English) banget, di mana perlu kecerdasan ekstra untuk mengerti yang dia maksud. :(
Bahkan, sebagian staf di hotel yang gue tempatin pun, susah buat nemuin orang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik loh. Jadi, ceritanya, malem-malem gue laper. Gue nelpon resepsionis buat mesen makanan. Gue bilang, "Can I order some food?" Dia jawab, "No." Terus, gue jawab lagi, "Why?", jawaban dari dia berikutnya adalah, "Ni xian wen toajdfoajedlkfjasdf werahdfalkjad." Gue pun nutup telpon dan milih buat lompat ke sini pake parasut.
Selain kendala bahasa lisan, ternyata di China, sebagian besar tempat usaha menggunakan tulisan China. Jadinya, gue nggak ngerti yang gue masukin itu restoran atau rental PS. Itu adalah hasil dari kebijakan pemerintah China, di mana waralaba/tempat usaha dari luar negeri yang mau membuka cabang di China, harus mau memakai branding China. Pokoknya, China itu negara yang sebenarnya keren. Negara yang sangat menjaga identitasnya, dan tidak mau banyak terpengaruh negara luar. Mereka tidak mau "menjual" negaranya agar bisa dianggap maju. Dengan kebijakan semacam itu, akhirnya, gue pun milih buat makan di tempat yang sudah pasti-pasti aja, dengan menebak logo produknya. Di titik ini, gue ngerasain beratnya hidup orang bisu, tuli, dan sekaligus buta huruf. Sad.
Ini nggak mungkin panti jompo, kan?
Tapi ada hal lucu juga kalo mengingat orang di China banyak yang nggak ngerti bahasa Inggris. Yang efeknya adalah, banyak orang sana yang make atau jualan kaos berbahasa Inggris tanpa ngerti artinya apa.
Gue kira, kaos semacam itu cuma ada di 9gag aja. Ternyata emang beneran ada di China. Kocak! :)))
Lalu Lintas
Awalnya, gue kira lalu lintas di Shanghai bakal sekeren di Singapura atau Hongkong. Di mana pengendaranya tertib-tertib, ada Metro yang bakal mudah nganter kita ke semua tempat di kota itu. Kenyataannya, hal semacam itu enggak terjadi di Shanghai.
Soal taksi, pas di sana gue nemuin supir taksi yang nggak mau pake Argo, alias nembak tarif (sounds familiar). Lalu, soal pengendara motor di Shanghai, mungkin mirip sama sebagian pengendara motor di Indonesia. Suka berkendara ke mana-mana tanpa helm, atau nerobos lampu merah.
Ngopi dulu di tengah jalan, ah~
Oiyah, sepeda motor di Shanghai, nggak seperti motor di Indonesia. Kalo di Indonesia, motor itu seperti benda yang bisa dibanggakan buat dapetin cabe-cabean. Di China, motornya cuma ada 2 tipe:
- Skuter matic
- Skuter electric
Di mana, bentuk motornya ya bakal sangat mengenaskan. Setiap ada bagian yang patah, bakal dilakban doang. Yang penting mah, bisa jalan, nggak buat bangga-banggaan atau balapan.
Internet Menyiksa
Ini yang sempat gue lupa saat mempertimbangkan untuk bepergian ke China. Ternyata, pemerintah China memblokir banyak banget website-website Sosial Media. Sehingga gue kesulitan buat berbagi momen di Twitter maupun Facebook. Hal itu beralasan, mungkin pemerintah takut ada terbentuk komunitas-komunitas yang bisa membahayakan posisi mereka. Seperti yang terjadi di revolusi Mesir beberapa tahun lalu. Berkat bantuan Facebook, rakyat Mesir mampu menggulingkan kekuasaan Hosni Mubarak. Sehingga, hampir segala akses internet penduduk di China, dimata-matai oleh pemerintahnya. Hiii..
Untuk bisa mengakses sosial media atau website yang di-block, gue terpaksa pake VPN. Lumayan ribet, dan internetnya leleeeet.. Duh.. Wajar deh kalo orang-orang di China susah ngikutin perkembangan tren di sosial media dunia. Besyukurlah wahai kita para pengguna sosial media yang tinggal di negara yang masih bebas berkicau. Tapi jangan sampai kebebasan kita kebablasan ya. Nanti internet kita difilter juga loh. Hiiii..
Sikap Masyarakat Sana
Mungkin ini cuma di Shanghai, yang memang sebuah kota besar di sana. Orang-orang terlihat individualis dan kurang ramah (kayaknya penduduk di hampir setiap kota besar begitu juga). Sebagai contoh, sebagian orang yang mau gue tanyain soal jalan, begitu paham kalo gue nggak bisa bahasa China, mereka langsung berlalu begitu saja. Nyesek sih..
Selain itu, gue juga agak sedih sama kecuekan orang-orang di sana. Jadi, ceritanya sore itu gue mutusin buat jalan kaki mengelilingi pedestrian area untuk ngambil foto-foto gedung di atas. Sebelum gue berangkat, gue taruh kaca mata minus gue di kantung bagian dalam kemeja. Lalu, saat gue lagi jalan kaki, gue denger suara "Klothak!", semacam benda jatuh gitu. Saat itu ada banyak orang di belakang gue juga, gue kira hape mereka jatuh atau semacamnya. Gue lanjut jalan.
Begitu gue nemu spot asyik buat motret, gue rogoh kantung kemeja gue buat ngambil kacamata. Dan.. kacamatanya enggak ada.
Dear desainer kemeja ZARA, gue pengin nonjok muka lo karena ngedesain kantung mubadzir begini.
Gue jadi inget momen sebelumnya, pas gue denger suara "Klothak!" itu. Iya! Itu pasti kacamata gue! Tapi kok orang-orang di belakang gue nggak ada yang mungutin atau manggil gue sih? Apa segitu cueknya mereka kepada sesama? Akhirnya, sejak hari itu, mata gue burem. Gue balik hotel, memutuskan untuk beli tiket pesawat balik secepatnya. :(
Oiyah.. Selama di sana, gue ditemenin jalan-jalan sama sahabat gue, namanya Ayas. Dia adalah seorang mahasiswi PhD di Universitas Manchester, UK. Cerdas? Iya. Gila? Iya banget.
Nih, kelakuan Ayas waktu main di sana. Dia melakukan tarian pemanggil hujan di kuil. Dan berkat skill-nya yang keren dalam hal fotografi, foto gue selama di China, jadinya begini:
Lupakan soal fokus, kuilnya bagus!
Apakah selama di China, gue cuma berduaan ama dia? Enggak. Yang bener, gue nemenin dia jalan-jalan sama pacarnya.
Gue memutuskan buat balik duluan, karena gue udah nggak tahan melihat kemesraan mereka. Gini amat rasanya hidup tanpa pasangan, bisa jalan-jalan, tapi tetep kesepian. Hiks.
Nah, itulah beberapa cerita gue mengenai kota Shanghai. Buat lo yang mau main ke China, gue saranin mending ke Beijing aja. Di sana udaranya seger, suhunya dingin, dan banyak tempat-tempat bersejarah seperti Tembok Besar China, atau Forbidden City. Recommended banget. Kalo ditanya, apakah gue menyesal udah jalan-jalan ke Shanghai? Tentu tidak. Semua kembali ke tujuan awal, gue sengaja ke sana untuk mencari keresahan, bukan kesenangan.
Dari perjalanan kemarin, gue belajar. Memang yah, kadang sesuatu itu cuma indah untuk dikagumi, bukan dikenali lebih jauh. Karena begitu kenal lebih jauh, rasa kagum bisa hilang gitu aja. Hal ini nggak cuma berlaku untuk sebuah kota, bisa juga berlaku bagi seorang idola atau gebetan. Ada gebetan yang hanya menyenangkan saat sedang pendekatannya, tapi saat dimiliki, hambar-hambar aja.
Ada yang pernah ke China juga? Share pengalaman lo di kolom komentar, ya!
0 comments:
Post a Comment