"MAU JADI APA KALIAN?!" Teriak Pak Slamet, guru berbadan tegap dan suara menggelegar itu kepada kami, 6 siswa STM yang ketauan judi kartu di WC sekolah.
Kami semua terdiam, badan bergetar, keringat menetes-netes. Pak Slamet kembali berteriak, "TARUH TANGAN KALIAN DI MEJA SAYA! SEKARANG!"
Kami semua terdiam, badan bergetar, keringat menetes-netes. Pak Slamet kembali berteriak, "TARUH TANGAN KALIAN DI MEJA SAYA! SEKARANG!"
Kami hanya bisa mengikuti perintah beliau. Kami takut, kalo kami nggak nurut, Pak Slamet berubah jadi Megatron. Kami pun meletakkan tangan kami di meja guru kelas secara sejajar dengan perasaan was-was. Semua anak-anak di kelas baca Surat Yasin secara berjamaah.
Pak Slamet kemudian mengambil sebuah penggaris kayu sepanjang satu meter yang biasa dipakai untuk mengajar. Tak memberi aba-aba, beliau langsung memukulkan kayu itu ke tangan kami yang tergeletak di meja itu. Kami berteriak kesakitan dan memohon ampun. Singkat cerita, pulang sekolah, gue dan 5 teman lain kesulitan untuk naik sepeda motor karena jari tangan kami memar semua.
Pak Slamet kemudian mengambil sebuah penggaris kayu sepanjang satu meter yang biasa dipakai untuk mengajar. Tak memberi aba-aba, beliau langsung memukulkan kayu itu ke tangan kami yang tergeletak di meja itu. Kami berteriak kesakitan dan memohon ampun. Singkat cerita, pulang sekolah, gue dan 5 teman lain kesulitan untuk naik sepeda motor karena jari tangan kami memar semua.
Kejadian seperti di atas, bukanlah hal yang asing lagi buat gue. Hukuman fisik seperti lari keliling lapangan, push up, dan dicukur pake pisau sama guru ampe pitak-pitak kayak anjing jamuran pun udah pernah gue alamin. Memang, gue ada sebalnya juga kalo abis kena hukum. Pengin rasanya ngebales kelakuan guru itu. Tapi kalo dipikir-pikir lagi, gue juga nggak bakal dihukum kalo gue nggak salah. Ya kali, gue lagi enak-enak boker di toilet sekolah, tau-tau disuruh push-up, ntar berceceran dong.
Zaman muda, saat darah masih bergelora, gue kadang pengin ngadu ke orang tua. Tapi jangankan nyamperin guru yang ngehukum gue, ortu gue aja nggak pernah ngambilin rapor gue. Jadi, gue pikir keputusan itu nggak bakal berpengaruh.
Nah, abis kejadian jari digebuk pake mistar kayu itu, Supri, salah satu temen gue judi, ngaduin ke ortunya. Dia berharap agar ortunya datang ke sekolah, lalu memarahi guru yang melukainya. Gue tau, karena waktu dia ngaduin ke ortunya, persis pasca kejadian, gue lagi mampir di rumahnya.
"Loh? Tanganmu ngopo?" Tanya Bokap Supri.
"Anu Pak.. Tadi digebuk pak guru, kejam banget dia Pak.. Suka semena-mena sama murid." Jawab Supri provokatif.
Bokap Supri mengecek tangan anaknya, "Wah?! Ampe biru gini.. Digebuk atau diinjak?"
"Digebuk pake mistar kayu, Pak.. Kejam banget to?" Supri menjawab dengan nada memelas.
"Lha kok bisa? Kamu salah apa?" Bokap Supri kaget mendengar anaknya dianiaya.
"Nganu Pak.. Ketauan judi di sekolah."
"...."
Bokap Supri menghela nafas sebentar, lalu, "PLAK!"
Terdengar suara tamparan nan perih yang mendarat di pipi Supri. "LHA KOK TADI CUMA DIGEBUK PAKE MISTAR KAYU? KAMU DIGILES PAKE MOBIL JUGA BAPAK TERIMA!"
Bokap Supri mendadak jadi bengis. Dia berdiri, dan kembali memukuli Supri. "BIKIN MALU! UDAH BISA NYARI DUIT SENDIRI KAMU?! DUIT YANG KAMU MAKAN TIAP HARI ITU MASIH HASIL KERINGATKU! SEMENA-MENA!" "PLAK! PLAK! PLAK!"
Suasana semakin awkward, gue sembunyiin tangan gue yang juga membiru, lalu buru-buru pamit pulang.
Iya, itulah cerminan pendidikan yang gue dapat waktu itu. Guru killer, selalu gue temui sejak zaman SD, SMP, STM, dan bahkan, kuliah pun gue ketemu dosen killer. Tapi apakah guru-guru semacam itu membuat gue membenci figur pendidik? Tidak sama sekali. Bahkan sampe sekarang gue masih respect sama mereka berkat segala ilmu yang diberikannya.
Momen itu gue sadari waktu gue perpisahan zaman STM. Waktu itu sudah waktunya kami bersalaman dengan para guru. Pak Slamet memeluk gue, sambil... nangis. Iya, dia nangis sambil meminta maaf atas segala hukuman yang pernah dia lakukan kepada gue. Waktu itu gue ikut nangis, dan minta maaf karena sudah membuat beliau terpaksa menyakiti gue gara-gara kenakalan gue. Tangannya yang harusnya digunakan untuk mendidik, jadi digunakan untuk menghajar gara-gara kenakalan gue yang nggak wajar. Gue yakin, setelah ngehukum gue, sebagai pendidik, beliau juga guilty karena profesinya jadi ternodai. Itulah salah satu wujud dari cinta, diikuti penyesalan setiap kali orang yang dicintai tersakiti.
Sejak saat itu, gue jadi nyadar bahwa kita sebenarnya nggak takut kepada guru killer. Kita hanya takut kepada ketidakdisiplinan diri kita sendiri di sekolah. Kalo kita tidak melanggar peraturan apapun, ya kita nggak akan dihukum. Guru nggak akan punya alasan untuk menghukum kita. Segalak apapun dia.
Ditambah lagi, saat semester akhir kuliah gue, karena gue kuliah di FKIP, gue ada PPL. Di mana, gue harus ngajar di sebuah SMK selama beberapa bulan. Di SMK itu, murid gue bandel-bandel. Bahkan, gue pernah ngalamin pas pulang ngajar, motor gue digembosin murid cuma gara-gara dia dapet nilai jelek pas test. Gue jadi ngerti gimana rasanya jadi guru yang punya murid bengal.
Jadi, dari pengalaman masa lalu, buat gue, hukuman fisik (cubit, sit-up, push-up) di sekolah itu masih wajar dilakukan oleh guru, untuk anak yang sudah mulai remaja. Itu pun kalo si anak keterlaluan kelakuannya. Untuk bocah yang masih TK atau SD, kalo bisa cukup teguran halus secara lisan saja, biar gak trauma atau malah takut bersekolah. Hukuman fisik bagi remaja, menurut gue boleh, asal tidak berlebihan, dan tidak memakai kata-kata kotor sebagai makian. Karena luka fisik bisa sembuh sendiri, tapi luka hati kadang kebawa mati. Gue tau, ada juga anak yang tumbuh bersama orang tua, dan tak pernah merasakan hukuman fisik dari ortunya. Jadi, ketika bertemu dengan guru yang memberi hukuman fisik, mereka bisa trauma.
Tapi, sepengalaman gue, gue BELUM PERNAH nemu guru yang ngegampar, apabila kesalahan yang dilakukan murid tidak fatal. Kalo cuma karena lupa ngerjain PR, biasanya ya hukumannya cuma disuruh lari keliling lapangan. Biasanya, murid yang digampar itu ya level kurang ajarnya udah nggak wajar.
Tapi, sepengalaman gue, gue BELUM PERNAH nemu guru yang ngegampar, apabila kesalahan yang dilakukan murid tidak fatal. Kalo cuma karena lupa ngerjain PR, biasanya ya hukumannya cuma disuruh lari keliling lapangan. Biasanya, murid yang digampar itu ya level kurang ajarnya udah nggak wajar.
Untuk orang tua, sudah sepantasnya saat menitipkan anak di sekolah, artinya sudah memindahkan tugas mendidik anak selama di sekolah kepada guru. Apabila tidak mau gurunya mendidik anaknya dengan caranya, ya sekolahkan secara private saja. Di mana selalu bisa diawasi cara mendidiknya. Atau, setidaknya ciptakan perjanjian dulu antara ortu dan guru, hal-hal apa saja yang tak boleh dilakukan kepada si anak. Orang tua berhak protes kepada sekolah, apabila hukuman yang diterima si murid sudah tidak wajar. Misal, digampar sampe ompong, atau dipukul hingga hidung patah, nah, itu sudah masuk pasal penganiayaan.
Jadi, buat gue kalo cubitan, sentilan, atau lari di lapangan, itu hukuman yang masih wajar dilakukan guru kepada murid, di zaman gue. Kadang, anak-anak harus mengerti bahwa hidup itu keras. Jadi, mendidik jangan selalu lembek. Baru dicubit aja udah ngadu orang tua, apa kabar nanti kalo ditinggalkan kekasih saat sedang cinta-cintanya? Tapi guru juga jangan lupa, kalo berani ngasih punishment, mereka juga harus bisa ngasih reward kepada murid-murid yang baik. Sehingga hal itu bisa jadi motivasi, bukan rajin belajar cuma karena ditakut-takuti. Mendidik memang tak harus keras, tapi harus tegas. Tegas dalam menghadapi kesalahan murid, dan juga tegas menghargai usaha keras murid.
Tapi semua yang gue sebutin di atas kan "buat gue", atau mungkin buat anak-anak generasi gue, di mana gue lahir, tumbuh di zaman yang berbeda. Cara bergaul gue dulu dan anak-anak sekarang udah beda. Jadinya, kualitas mental dan psikologis pun beda. Untuk anak-anak zaman sekarang, akan lebih baik lagi kalo mereka mendapatkan sistem pendidikan yang tanpa kekerasan. Misal, memberlakukan sistem poin di sekolah. Jadi, setiap pelanggaran yang dilakukan murid, akan berbuah poin. Besarnya poin juga diatur sesuai dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Di mana, poin-poin itu berpengaruh dalam proses kenaikan kelas si murid. Hal seperti itu wajib disosialisasikan ke ortu murid saat daftar ulang. Sehingga ortu juga bisa ikut mengawasi sistem ini dan mengingatkan anak-anak mereka. Di zaman ini, tindakan kekerasan fisik sudah tidak relevan. Gue gak kebayang aja, kalo kelak anak-anak yang gue sayang, jaga, dan besarkan, disakiti orang saat mereka jauh dari orang tuanya. It's sad.
Bagaimanapun juga, menghasilkan generasi baru yang lebih baik, adalah kewajiban bagi ortu maupun guru. Jadi, lebih baik guru dan ortu selalu bekerjasama. Tidak asal menyerahkan tanggungjawabnya.
Oke.. This is the end of this post. Gue cuma mau berbagi opini gue tentang guru killer yang menghukum murid. Semoga bisa menambah sudut pandang baru dalam melihat masalah ini. Thanks for reading!
Oiyah.. Lo pernah dihukum guru di sekolah? Dihukum apa? Jangan lupa share ceritanya di kolom komen, ya! :D
0 comments:
Post a Comment